WhatsApp Chat

Di Balik Tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat”: Sebuah Kenyataan yang Sering Terlupakan

Setiap peringatan Hari Guru Nasional, suasana negeri ini selalu meriah. Spanduk bermunculan di mana-mana, pesan-pesan apresiasi memenuhi media sosial, dan tema besar kembali dikumandangkan tahun ini berbunyi “Guru Hebat, Indonesia Kuat.” Tema yang terasa gagah, seakan seluruh rakyat sepakat menempatkan guru sebagai tokoh utama pembangunan bangsa.

Namun di balik riuhnya penghormatan itu, ada realitas lain yang justru sering tak terdengar, sebuah ironi yang mengusik perasaan para pendidik.

Baca juga : Membuat Kartu Ucapan Digital dengan Canva

Guru kerap dielu-elukan sebagai pahlawan, tetapi pada saat yang sama mereka tak jarang menjadi objek komentar miring, kecemburuan, bahkan tuduhan yang tidak berdasar. Bagi sebagian orang, profesi guru dianggap penuh keistimewaan, seolah mendapatkan fasilitas lebih dibanding lainnya. Padahal penghargaan yang diterima guru bukanlah pemberian cuma-cuma, melainkan hasil dari perjuangan panjang yang penuh tantangan.

Salah satu hal yang paling sering dipersoalkan adalah Tunjangan Profesi Guru (TPG).
Ada ASN non-guru yang memandangnya dengan rasa iri, masyarakat awam ikut mempertanyakannya, dan komentar-komentar pedas pun tak jarang terdengar: “Enak ya jadi guru, tunjangannya besar.”

Padahal, tidak banyak yang benar-benar memahami panjangnya proses yang harus ditempuh untuk mendapatkan TPG tersebut.

Baca juga : Mona Lisa Octocat si Maskot GitHub, Karya Artikel Anak SMK N 1 Godean

Sedikit yang mengetahui bahwa seorang guru harus membuktikan diri sebagai guru profesional. Ada rangkaian sertifikasi, evaluasi, pelatihan, portofolio, tuntutan administrasi, serta tanggung jawab moral yang harus dipenuhi. Guru dituntut terus berkembang agar pantas menyandang predikat sebagai pendidik, bukan sekadar pengajar yang masuk kelas lalu pulang.

Di balik selembar sertifikat profesional itu, tersimpan berbagai cerita: malam-malam penuh kelelahan, biaya yang harus dikeluarkan, waktu belajar yang dicuri dari jam istirahat, dan tekanan untuk terus mengikuti perubahan zaman. Guru harus mengajar, membina karakter, memberi penilaian, menyusun laporan, mengikuti pelatihan, dan tetap tampil penuh kesabaran di depan siswa.

Ironinya, ketika seorang peserta didik menorehkan prestasi, semua menganggap itu murni usaha sang siswa. Tetapi ketika muncul kesalahan kecil, guru menjadi pihak pertama yang dipersalahkan. Beban pendidikan seolah ditempatkan seluruhnya di pundak mereka.

Baca juga : Cara Berdagang bagi Pembisnis Pemula

Mungkin memang demikian harga dari profesi mulia: dicintai, tetapi sekaligus diuji; dihormati, namun kerap disalahpahami; dipuji, tetapi juga menjadi sasaran kecemburuan.

Meski begitu, setiap pagi guru tetap datang ke sekolah, berdiri di depan kelas, dan mengajar dengan sepenuh hati. Bukan karena mencari pujian atau mengejar tunjangan, melainkan karena ada panggilan nurani untuk membentuk masa depan bangsa. Ada keyakinan bahwa setiap ilmu yang diberikan akan tumbuh menjadi sesuatu yang berarti.

Di Hari Guru Nasional ini, marilah kita tidak berhenti pada slogan-slogan indah. Saatnya memahami bahwa profesi guru bukan sekadar pekerjaan  ini adalah bentuk pengabdian yang tidak semua orang mampu menjalaninya. Dan di balik tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat” ada pesan penting: Indonesia hanya akan benar-benar kuat apabila guru dihargai bukan hanya dalam kata, tetapi juga dalam sikap, kebijakan, dan pengakuan yang tulus.

Selamat Hari Guru Nasional.
Untuk para guru yang tetap tegar meski sering ditempatkan di posisi sulit, yang tetap tersenyum meski kadang disalahpahami, dan yang terus mendidik meski tidak selalu dihargai terima kasih. Tanpa kalian, masa depan negeri ini tidak akan pernah berdiri setegak sekarang.

Share: